KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIK DAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF THINK PAIR SHARE (TPS)


KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIK
DAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF THINK PAIR SHARE (TPS)

Oleh : Ipung Saepulrohman

A.      Pendahuluan
          Pendidikan berperan penting dalam menentukan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) suatu negara. Namun, menurut laporan United Nations Development Programme (UNDP)pada tahun 2011 menunjukkan, IPM Indonesia berada pada level 0,617 atau masuk dalam kategori menengah dengan posisi peringkat berada pada nomor 124 dari 187 negara di dunia yang diakui PBB. Sekedar perbandingan, pada tahun 2010 IPM Indonesia berada pada peringkat 108 dengan nilai 0,613 poin. Jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara, maka kualitas manusia di Indonesia pada tahun 2011 berada di level menengah sedangkan peringkat pertama untuk kategori kualitas manusia, negara Singapura mendudukinya dengan nilai IPM sebesar 0,866 poin (Republika, 2011).
          Untuk mewujudkan mutu pendidikan yang baik tidak terlepas dari proses pembelajaran yang baik pula. Untuk merealisasikan hal tersebut, UNESCO (Soedijarto, 2003) menawarkan pendekatan pembelajaran melalui empat pilar belajar yang terkenal, yaitu: 1) learning to know, 2) learning to do, 3) learning to be, dan 4) learning to live together. Soedijarto (2003)mengemukakan juga bahwa pada abad 21, pendidikan harus menghasilkan proses pembelajaran yang bermakna sehingga menghasilkan out put kemampuan, nilai dan sikap.
          Sebagai mata pelajaran yang selalu diajarkan dalam tiap tahapan pendidikan,  serta sebagai salah satu mata pelajaran pokok yang diUNkan maka matematika memegang peranan penting pada tahap pembelajaran di sekolah. Namun, “Pada umumnya orang berpendapat bahwa matematika merupakan mata pelajajaran yang sulit diajarkan maupun dipelajari” (Wahyudin, 2008:1). Dipertegas lagi bahwa “Matematika ilmu pasti bagi anak-anak pada umumnya merupakan pelajaran yang tidak disenangi, kalau bukan pelajaran yang paling di benci” (Ruseffendi, 1979: 15).
            Dari pendapat tersebut, timbul pertanyaan bagi kita, mengapa mata pelajaran matematika mengalami nasib seperti itu? Padahal, angka-angka yang seharusnya membuat matematika disenangi karena relevan dengan kehidupan sehari-hari, kegunaan dan keindahan matematika dapat digunakan oleh hampir semua kegiatan-kegiatan di luar bidang hitung-menghitung. Faktor lain yang menjadikan matematika sepatutnya menyenangkan untuk dipelajari,Ruseffendi (2006) menyimpulkan tiga faktor penting. Pertama, matematika merupakan bagian warisan budaya yang tinggi dan berkembang seirama dengan perkembangan ilmu lainnya, kedua, adanya kegunaan ilmu matematika dengan ilmu lainnya, dan ketiga matematika memiliki struktur.

1.        Kemampuan Pemahaman Konsep
          Di dalam standar isi mata pelajaran matematika tercatat salah satu tujuan pembelajaran matematika adalah memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antara konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah. Apabila kita memperhatikan tujuan tersebut, pemahaman konsep matematika memegang peranan penting di dalam proses pembelajaran matematika. Pemahaman konsep matematika menjadi landasan penting dalam kerangka berfikir ketika menyelesaikan permasalahan-permasalahan matematika maupun permasalahan-permasalahan dalam kehidupan sehari-hari (Depdiknas, 2006).
          Pemahaman merupakan aspek kemampuan yang termasuk ke dalam ranah kognitif yakni ranah yang berkenaan dengan tingkah laku dari perubahan berbagai proses mental. Ranah kognitif berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual seperti pengetahuan, pengertian dan keterampilan berfikir. Herdian  (dalam Riyanti, 2011) menyatakan “Pemahaman merupakan terjemahan dari istilah understanding yang diartikan sebagai penyerapan arti suatu materi atau bahan yang dipelajari”.Ruseffendi (2006:121) menjelaskan bahwa pemahaman merupakan terjemahan dari istilah comprehension yang digambarkan dengan keadaan bila siswa memahami konsep matematika maka siswa mengerti tentang hal tersebut namun tahap mengertinya masih rendah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), paham berarti mengerti dengan tepat, sedangkan konsep berarti suatu rancangan (Depdiknas, 2000). Sedangkan dalam matematika, konsep menurut Gagne adalah suatu ide abstrak yang memungkinkan seseorang untuk mengelompokan benda-benda ke dalam contoh dan non contoh (Ruseffendi, 2006:157). Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep merupakan pengertian yang tepat atau benar terhadap suatu rancanganatau ide abstrak yangberkaitan dengan pelajaran matematika.
          Dalam pelaksanaan pembelajaran matematika, pemahaman terbagi menjadi berbagai macam sesuai pendapat para ahli dalam bidang matematika. Skemp (dalam Bennu, 2010) membagi pemahaman ke dalam dua jenis, yaitu pemahaman relasional (knowing what to do and why) dan pemahaman instrumental (rules without reasons).
          Pada tahun 1987 Skemp merevisi pembagian pemahaman menjadi tiga macam pemahaman dengan menambahkan komponen pemahaman formal. Skemp mendefinisikan pemahaman instrumental sebagai kemampan untuk menerapkan sesuatu pada perhitungan rutin/sederhanan atau mengerjakan sesuatu secara algoritma saja. Pemahaman relasional didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengaitkan sesuatu dengan hal lainnya secara benar dan menyadari proses yang dilakukannya, sedangkan pemahaman formal didefinisikan sebagai kemampuan mengaitkan notasi dan simbol matematika yang relevan dengan ide-ide matematika dan mengkombinasikannya ke dalam rangkaian penalaran logis (Bennu, 2010).

2.        Pembelajaran Kooperatif Think Pair Share (TPS)
Pembelajaran kooperatif merupakan terjemahan dari istilah cooperative learning yang berarti mengerjakan sesuatu secara bersama-sama. Slavin (2010: 4) mengungkapkan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan metode pengajaran dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari para siswa yang terdiri dari 4-6 orang yang bekerja saling membantu dalam mempelajari materi pelajaran serta bertujuan agar siswa tersebut berdiskusi dan berargumentasi untuk mengasah pengetahuan dan menutup kesenjangan dalam pemahaman masing-masing.
          Sedangkan Jhonson (dalam Isjoni, 2009:15) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif menuntut siswa mencari hasil yang menguntungkan bagi seluruh anggota kelompok dengan memanfaatkan kelompok kecil untuk memaksimalkan belajar para siswa. Lie (2008: 12) menyebut pembelajaran kooperatif sebagai pembelajran gotong royong yakni sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerjasama antara mereka dalam tugas-tugas terstruktur.
          Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang terdiri dari kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan 4-6 orang dengan struktur kelompok yang heterogen. Siswa bekerjasama selama proses pembelajaan dalam tugas-tugas terstruktur dengan kemampuan optimal yang dimiliki sehingga terwujud proses belajar mengajar yang berpusat pada siswa.
          Isjoni (2009: 21) mengemukakan tujuan utama dari adanya belajar secara berkelompok, intinya adalah agar peserta didik dapat saling menghargai sesama temannya dan memberikan kesempatan ketika saling memberikan gagasannya tatkala peserta didik belajar dalam bangunan kelompok. Pada dasarnya pembalajaran kooperatif sama dengan kerja kelompok. Tetapi tidak setiap kerja kelompok diasumsikan sebagai pembelajaran kooperatif. Hal ini disebabkan oleh beberapa kriteria dari pembelajaran kooperatif. Kriteria tersebut yaitu: 1) saling ketergantungan positif, 2) tanggungjawab perseorangan, 3) tatap muka, 4) komunikasi antar anggota, dan 5) evaluasi proses kelompok (Jhonson dalam Lie, 2008: 31). Para siswa harus menyadari adanya hubungan timbal balik yang didasari adanya kepentingan bersama yang harus berhasil. Hubungan tersebut terjadi secara langsung tanpa perantara, tanpa adanya penonjolan kekuatan individu, yang ada hanyalah hubungan timbal balik yang bersifat positif sehingga berpengaruh terhadap prestasi belajar (Lie, 2008). Selain itu, partisipasi siswa harus terlihat menuju belajar yang lebih baik, saling membantu agar setiap anggota dalam kelompok mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
          Salah satu pembelajaran yang mampu mengoptimalkan partisipasi siswa dalam kelompoknya adalah pembelajaran kooperatif Think Pair Share (TPS).TPS dikembangkan oleh Frank Lyman dari University of Maryland, Amerika Serikat pada tahun 1981. Lie (2008: 56) menyatakan bahwa TPS memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja sendiri serta bekerjasama dengan orang lain. Pembelajaran kooperatif dengan TPS mengikuti langkah-langkah berikut yakni para siswa-siswa duduk berpasangan dengan timnya masing-masing ketika guru menyampaikan pelajaran kepada kelas. Pada proses tersebut, guru memberikan permasalahan sebagai bahan diskusi, siswa diminta untuk memikirkan seluruh jawaban dari mereka sendiri.  Lalu dengananggota kelompok yang lain merekaberdiskusi untuk mencapai sebuah kesepakatan terhadap jawaban. Akhirnya, para siswa diminta untuk berbagi jawaban yang telah mereka sepakati ke forum kelas dalam rangka mendapatkan tanggapan maupun apresiasi dari siswa yang lain.
          Mengingat sederhananya pola pembelajaran ini, Lie (2008: 57) menuturkan bahwa TPS dapat digunakan dalam semua mata pelajaran -baik ilmu eksakta maupun ilmu sosial- dan untuk semua tigkat pendidikan terutama bagi pelajar bangsa Indonesia yang tak dipungkiri memiliki latar belakang sejarah bangsa yang memiliki nilai-nilai gotong royong dalam budaya Indonesia. Sedangkan menurut Lie (2008: 56) prosedur pelaksanaan TPS mengikuti tahap-tahap sebagai berikut:
a)        Guru membagi siswa dalam kelompok yang terdiri dari empat orang.
b)        Guru membagi tugas sebagai bahan diskusi kepada semua kelompok.
c)        Setiap siswa berpikir dan mengerjakan tugas tersebut secara mandiri.
d)  Siswa berpasangan dengan salah satu rekan dalam kelompoknya danberdiskusi dengan pasangannya.
e)   Kedua pasangan bertemu kembali dalam kelompok berempat, siswa mempunyai kesempatan untuk membagikan hasil kerjanya kepada kelompok lain.

3.        Penelitian yang Relevan
          Hasil penelitian yang berkaitan dengan pembelajaran kooperatif TPS dilakukan oleh Sutrisno (2007) yang melaporkan bahwa berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan olehnya dapat disimpulkan pembelajaran kooperatif TPS dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam memecahkan masalah matematika. Keaktifan dan kerja sama siswa yang meningkat menyebabkan TPS layak diterapkan dalam pembelajaran matematika. Demikian pula hasil penelitian Barlita (2011) menunjukkan bahwa siswa yang pembelajarannya menggunakan model TPS memiliki peningkatan kemampuan komunikasi matematis dan kepercayaan diri yang lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran matematika secara konvensional serta respon siswa terhadap penerapan model pembelajaran ini menunjukkan respon yang positif.
          Selanjutnya Furinda (2011) menerapkan TPS pada siswa kelas III SDN Senden II Kabupaten Kediri melalui Penelitian Tindakan Kelas (PTK).Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktifitas siswa dalam proses pembelajaran dengan pembelajaran TPS dalam meningkatkan hasil belajar matematika materi luas bangun datar pada siswa meningkat. Pada pratindakan belum ada penilaian aktifitas siswa, pada siklus I sebesar 72 % dengan kriteria baik, dan siklus II sebesar 89% dengan kriteria sangat baik. Dan hasil belajar siswa pada pratindakan rata-rata 58 dan ketuntasan 40%, pada siklus I rata-rata hasil belajar siswa adalah 69 dan ketuntasan 79%, sedangkan pada siklus II rata-rata hasil belajar siswa adalah 80 dengan ketuntasan klasikal 93%. Disimpulkan bahwa model pembelajaran Think-Pair-Share (TPS) dapat meningkatkan aktifitas siswa dan hasil belajar luas bangun datar pada siswa kelas III SDN Senden II.
            Penelitian terhadap kelas VII dilakukan oleh Pujiasih (2011) yang menyatakan berdasarkan hasil analisis data, diperoleh kesimpulan bahwa pembelajaran matematika dengan model pembelajaran kooperatif tipe TPS pada materi segitiga kelas VII dapat meningkatkan kemampuan pemahaman konsep siswa. Hal ini terlihat dari hasil tiga kali pelaksanaan siklus pembelajaran yang mengalami peningkatan. Pada umumnya siswa memiliki antusias yang tinggi dan siswa memberikan respon yang positif terhadap pembelajaran matematika melalui TPS.

Daftar Pustaka (di sini)
Previous
Next Post »
0 Komentar